Selasa, 02 September 2008
Bakal Calon DPRD Tk II Kab. Ciamis
Salah satu wacana tentang partai politik di Indonesia yang menarik untuk dibicarakan saat ini selain tentang calon presiden mendatang adalah tentang Partai Amanat Nasional (PAN) karena secara internal akan menetapkan anggota legislatif hasil Pemilu 2009 berdasarkan suara terbanyak. Dengan mekanisme ini, PAN berusaha mempraktekkan demokrasi yang sesungguhnya yaitu dengan melibatkan masyarakat untuk menentukan secara langsung siapa yang akan dipercaya untuk membawa dan memperjuangkan aspirasi mereka di tingkat pemerintahan. Dalam hal ini masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk menimang mana di antara calon anggota legislatif yang diajukan PAN yang kredibel dan benar-benar dipercaya mampu mewakili dan memenuhi harapan mereka.
Masyarakat tidak lagi memberikan semacam cek kosong kepada partai untuk menentukan siapa wakil mereka, seperti modus operandi di masa Orde Baru. Dengan mekanisme yang akan digunakan PAN, maka kedaulatan benar-benar berada di tangan masyarakat dan PAN sebagai sebuah partai yang akan ikut dalam pemilu 2009 hanya bertindak sebagai penyeleksi lewat mekanisme internal yang fair. PAN hanya mencalonkan, selebihnya keputusan berada di tangan masyarakat.
Tetapi, yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana masyarakat sungguh-sungguh menggunakan momentum ini untuk memilih wakil mereka yang benar-benar kredibel, mau menghargai suara masyarakat dan yang terpenting, sungguh-sungguh berlaku amanah. Artinya, ia bertekad dengan serius untuk mewujudkan setiap harapan masyarakat. Ia tidak mencla-mencle alias orang yang tidak bisa dipegang omongannya. Wakil rakyat yang semacam ini sangat membahayakan masyarakat karena ia pandai memanipulasi, merekayasa dan karenanya tidak jujur.
Dalam kaitan itu, perlu kiranya masyarakat berpartisipasi sejak awal sehingga mereka memiliki langkah-langkah kontrol. Pertama, masyarakat harus mampu meminta PAN yang memiliki kewenangan dalam menetapkan calon anggota legislatif (caleg) untuk membeberkan dan mempublikasikan track record sang caleg secara luas dan jujur. Semua kisah hidup dan prestasi yang pernah dicapainya dibeberkan secara terbuka tanpa ada yang ditutupi, begitu pula langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk memperbaiki keadaan guna mensejahterakan masyarakat. Dari situ, masyarakat dapat melihat bagaimana profil sang caleg, apa kelebihan dan minusnya. Hal ini memang mengandung subyektivitas tinggi. Tetapi hal yang subyektif bisa berubah menjadi objektif, jika banyak orang yang berpikir subyektif juga atau intersubyektif.
Kedua, kelanjutan dari yang pertama, masyarakat bersama-sama bersedia bertindak sebagai pengawas terhadap setiap gerak-gerik sang caleg, termasuk PAN sebagai partai politik yang mencalonkannya. Masyarakat berfungsi sebagai piranti sensor yang mencermati apakah gerak-gerik mereka mencurigakan ataukah tidak. Tengah berbuat curang, misalnya membagi-bagikan uang, ataukah tidak. Jika iya, wajib hukumnya bagi masyarakat untuk melupakan keberadaannya. Orang yang berbuat curang akan tetap curang, kapanpun. Ini sebuah aksioma, dalil yang tak terbantahkan. Jika ia terpilih, hal pertama yang ia pikirkan adalah bagaimana ia mengembalikan setiap sen rupiah yang ia keluarkan. Ia berpikir bagaimana ia memanipulasi dan merekayasa setiap proyek untuk mengeruk keuntungan pribadinya. Anggota legislatif semacam ini akan menciptakan sebuah sistem kleptokratik, yaitu sistem yang mencuri uang rakyat untuk memperkaya diri dan partainya. Dan jika tidak, masyarakat perlu memberikan apresiasi yang setimpal, yaitu memilih yang baik dari yang baik, bukan yang baik dari yang buruk. Setelah memilih wakil yang baik, masyarakat wajib mengontrol dan mengawalnya. Soalnya, yang baik bisa saja tergelincir oleh keajaiban kekuasaan yang digenggamnya.
Dan ketiga, masyarakat perlu membuat suatu kontrak politik yang detail dan konkrit dengan semua caleg yang bersaing bahwa mereka siap mewujudkan semua janji mereka dan tuntutan masyarakat. Dibutuhkan kontrak politik untuk melihat kesungguhannya sekaligus sebagai alat kontrol terhadap setiap langkahnya. Sebagai alat kontrol, kontrak politik berfungsi sebagai media penghubung antara masyarakat dengan anggota legislatif yang telah mereka pilih sehingga seorang anggota legislatif tidak kehilangan kontak dengan realitas yang ada. Perlu disadari bahwa menggantungkan harapan kepada seorang anggota legislatif semata-mata karena pesona pribadinya saja, tanpa embel-embel "hitam di atas putih" atau tanpa suatu kontrak politik, bukanlah sebuah garansi yang baik. Seorang anggota legislatif, dengan kewenangan dan kekuasaan yang ada padanya, bisa melakukan apa saja, termasuk memanipulasi kepentingan masyarakat dan membelokkan aturan main sesuai dengan kehendak subyektif dan politiknya. Kiranya dengan kontrak politik itu, masyarakat dan anggota legislatif memiliki kontak yang berkesinambungan sekaligus memperlihatkan bahwa di dalam kekuasaan seorang anggota legislatif itu terdapat kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu kuasa masyarakat.
Ketiga hal di atas memperlihatkan bahwa masyarakat sesungguhnya memiliki kuasa yang demikian besar dan menentukkan. Tetapi hal ini akan berlaku dan berwujud jika masyarakat menyadari posisi itu dan mempergunakan kuasa itu demi meningkatkan harkat dan martabat mereka. Seringkali masyarakat terlambat menyadari hal itu sehingga ketika seorang anggota legislatif kehilangan kontak dengan realitasnya masyarakat tidak mampu berbuat apa-apa karena tuna kuasa alias tak punya kekuatan sedikitpun lagi.
Agar menjadi sinergis dengan apa yang dikehendaki masyarakat, maka PAN harus dapat membuktikan bahwa mekanisme pencalegan dengan suara terbanyak memang untuk kepentingan konstituen atau masyarakat luas, minimal untuk memperbaiki buruknya hubungan antara masyarakat dengan wakil rakyat selama ini. Dalam konteks ini, minimal PAN harus melakukan 3 (tiga) hal penting, yakni: Pertama, PAN harus selektif dalam hal rekrutmen kader. Rekrutmen harus dilaksanakan atas dasar komitmen, integritas dan kapasitas. Dengan kriteria tersebut diharapkan semua kader menjadikan PAN sebagai alat perjuangan dan bukan menjadikan PAN sebagai tempat mencari penghidupan, sekedar sambilan atau sekedar mendapatkan status sosial. Kedua, PAN harus melakukan pendidikan kepada semua caleg mengenai peran wakil rakyat, partai dan parlemen dalam sistem demokrasi. Hal ini sangat penting mengingat banyak kader partai yang setelah terpilih menjadi anggota legislatif terjebak dalam arus pragmatis sehingga lebih banyak memikirkan nasib pribadi ketimbang menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya.
Ketiga, PAN terus melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja kadernya yang telah dipercaya masyarakat sebagai wakil rakyat. Hal ini sangat penting mengingat keberadaan kader PAN sebagai anggota legislatif ibarat etalase PAN yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Baik dan buruknya kinerja anggota legislatif akan sangat berpengaruh terhadap citra dan perkembangan PAN pada masa yang akan datang. Dengan pengawasan dan kontrol partai tersebut diharapkan agar anggota legislatif dapat bekerja lebih maksimal, bahkan dapat membantu mereka untuk terhindar dari penyelewengan karena jabatan dan kedudukan mereka.
Akhirnya, Semoga penetapan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak yang saat ini digagas PAN benar-benar dilaksanakan dan mendapat dukungan luas dari seluruh masyarakat. Mumpung masih jauh dari pemilu, semoga masyarakat masih memiliki waktu untuk menyadari posisi mereka yang demikian kuat dan kuasa itu. Dan dalam demokrasi, masyarakatlah yang berkuasa sehingga muncul mantra politik yang sangat populer yakni vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan juga. Oleh karenanya, gunakanlah kuasa itu dengan baik dan berikanlah kuasa itu kepada yang baik, yang bisa mempertanggungjawabkan setiap tindak-tanduknya, yang tunduk kepada kehendak pemberi kuasa, yang sanggup menyatukan kata dan perbuatan, dan yang mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sekali lagi, masih ada waktu.